Maju mundurnya suatu bangsa antara lain ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Bangsa Indonesia di masa lalu lebih dari 30 tahun hidup dengan anggaran pendidikan yang sangat minim (5% dari APBN). Sementara di negara lain khususnya negara tetangga pihak pemerintahnya menaruh perhatian cukup besar terhadap pendidikan, karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa salah satu aset yang sangat berharga untuk kemajuan bangsa adalah sumber daya manusia itu sendiri. Negara China beberapa puluh tahun yang lalu disamping komitmennya terhadapa pemberantasan korupsi juga dalam rangka upaya mencerdaskan bangsanya seluruh daya upayanya dikerahkan antara lain membebaskan biaya akses internet untuk rakyat agar rakyatnya meningkatkan pengetahuan serta kemampuan skill-nya melalui internet. Dengan cara ini dperoleh hasil secar instan dan biaya rendah. Hasinya terbukti, kurang dari 50 tahun maraknya produk teknologi sangat luar biasa. Dalam bentuk selorohannya, “gubuk kecil saja mampu membuat/memproduksi chip elektronik”. China mampu mengembangkan teknologi secara efisien antara lain meminimisasi biaya riset dan biaya produksi sehingga produk-produk teknologinya khususnya elektronik mampu merambah ke seluruh dunia dengan harga yang sangat murah yang mengakibatkan negara-negara barat yang sudah terlebih dahulu tinggal landas, sekarang bertekuk lutut terhadap raksasa China seperti ZTE, Huwawei dsb, sekalipun mereka sudah mencoba membentenginya denga upaya joint venture untuk membangun raksasa sebagai tandingan raksasa China, contonya seperti Nokia-Siemens, Sony-Ericcson, dsb.
Tidak demikian Indonesia, sejak merdeka terlena dengan eporia politik, eporia demokrasi, lebih banyak adu urat leher berdebat sesuatu yang tidak ada untungnya. Sementara dunia pendidikan yang merupakan lumbung peneliti untuk memungkinkan mampu berdaya saing dengan negara lain, luput dari perhatian. Akibatnya ketika AFTA diberlakukan, barulah kita menyadari, bahwa betapa tidak siapnya kita dalam membendung produk luar negeri khususnya produk China sehigga akibatnya pengusahapengusaha kecil banyak yang gulung tikar aktibat serbuan produk luar yang lebih murah dan lebih baik kualitasnya.
Baru kita sadari, betapa pentingnya peningkatan kualitas SDM tersebut dalam menghasilkan produk teknologi. Dan ini tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat seperti kisah Sangkuriang, Barulah beberapa tahun terkhir ini anggaran pendidikan menjadi perhatian. Nasi sudah jadi bubur. Namun janganlah bubur itu kita buang, tapi marilah kita taburi ayam sehingga jadilah bubur ayam. Sekalipun di atas kertas sangat sulit mengejar para raksasa, namun semangat juang haruslah tetap dikobarkan dengan penuh harapan dan optimisme. Sekalipin sulit menjadi produsen teknologi, namun setidak-tidaknya mampu memanfaatkan teknologi produk orang lain secara efisien dan tepat guna.
Recent Comments